Kota Jepara

Sejarah dan Asal-usul Nama Jepara, Kota yang Dijuluki Bumi Kartini

 Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, untuk menghargai pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini (R.A Kartini) yang lahir di Jepara. Kota Jepara memiliki sejarah menarik, serta asal-usul nama yang syarat makna. RA Kartini dilahirkan di Jepara, 21 April 1879. Kota kelahiran pejuang emansipasi ini, merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Namun, sejarah dan asal-usul nama Jepara cukup menarik untuk diulik, serta kenapa disebut Jepara? Menurut sejarawan Hindia Belanda Cornelis Lekkerkerker, kata “Jepara” berasal dari kata “ujungpara” yang sesudah itu berubah jadi kata Ujung Mara, Jumpara, dan akhirnya jadi Jepara atau Japara.

Kata Ujungpara berasal dari bhs Jawa yang terdiri atas dua kata, yaitu Ujung dan Para. Kata Ujung (seperti halnya di dalam bhs Indonesia) bermakna “bagian darat yang menjorok jauh ke laut”, sedang kata Para, bermakna “menunjukkan arah”. Dengan demikian, ke dua kata selanjutnya kalau digabung bakal bermakna suatu tempat yang letaknya menjorok jauh ke laut.

Sumber lain mendeskripsikan Para sebagai Pepara, yang bermakna bebakulan mrono mrene, yang sesudah itu diartikan sebuah ujung tempat bermukimnya para pedagang dari bermacam daerah. Sejarah dan asal usul nama Jepara sesudah itu berkembang bersama dengan bermacam sebutan. Orang Jawa menyebut nama kota yang dijuluki Bumi Kartini ini jadi Jeporo, dan orang Jawa yang pakai bhs krama inggil menyebut Jepara jadi Jepanten.

Baca juga:

Asal Usul Kota Denpasar, Ternyata Berawal dari Sebuah Taman

Sejarah Surabaya, dari Perang Raden Wijaya sampai Pertempuran 1945

Sementara di dalam bhs Inggris disebut Japara dan orang Belanda menyebut Jepara bersama dengan Yapara atau Japare. Dilansir dari laman formal Pemerintah Kabupaten Jepara, kisah tentang tempat Jepara ini udah ada jauh sebelum akan ada kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.

Di ujung sebelah utara pulau Jawa udah ada sekelompok penduduk yang dipercayai orang-orang itu berasal dari tempat Yunnan Selatan yang saat itu melakukan migrasi ke arah selatan. Jepara saat itu tetap terpisah oleh selat Juwana.

Asal nama Jepara berasal dari perkataan ujung para, ujung mara dan jumpara yang sesudah itu jadi Jepara, yang bermakna sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke bermacam daerah. Kabupaten Jepara terdapat di pantai utara (pantura) timur Jawa Tengah yang anggota barat dan utaranya dibatasi segera oleh laut.

Bumi Kartini ini adalah tempat paling ujung sebelah utara dari Provinsi Jawa Tengah, yang tidak hanya punyai sejarah menarik. Salah satu wilayah dari kabupaten ini adalah Kepulauan Karimun Jawa yaitu gugusan pulau-pulau di Laut Jawa yang jadi anggota dari wisata Jepara yang cukup tersohor.

Sejarah perkembangan Jepara sebagai pusat niaga

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Jepara dijadikan sebagai sebuah tempat permukiman para pedagang yang berniaga ke bermacam daerah. Perkembangan kota yang sesudah itu dijuluki Bumi Kartini ini pun punyai cerita yang panjang dibaliknya.

Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada th. 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah datang ke negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang terhitung disebut Jawa atau Japa dan dipercayai berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara saat ini ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal amat tegas.

Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires di dalam bukunya “Suma Oriental”, sejarah Jepara mencatat bahwa tempat ini baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada di bawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara jadi kota niaga.

Pati Unus dikenal amat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang jadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan atau Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada th. 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin, suaminya.

Namun, setelah tewasnya Sultan Trenggono di dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada th. 1546, munculnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir bersama dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada th. 1549. Kematian orang-orang yang dikasihi memicu Ratu Retno Kencono amat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja.

Jepara dan cerita Nimas Ratu Kalinyamat

Peran dan sejarah pejuang perempuan Jepara udah dimulai jauh sebelum akan RA Kartini lahir. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik jadi penguasa Jepara bersama dengan gelar Nimas Ratu Kalinyamat.

Pada jaman pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat jadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani ekspor dan impor. Di samping itu terhitung jadi Pangkalan Angkatan Laut yang udah dirintis sejak jaman Kerajaan Demak.

Sebagai seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi sebab keberadaan Jepara saat itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan bersama dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada th. 1551 dan th. 1574.

Oleh sebab itu, dianggap tidak terlalu berlebih kalau orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai Rainha De Jepara Senora De Rica, yang bermakna Raja Jepara seorang wanita yang amat berkuasa dan kaya raya. Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan nyaris 40 buah kapal yang berisikan kurang lebih 5.000 orang prajurit.

Namun serangan ini gagal, saat prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat di dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis bersama dengan persenjataan lengkap sukses mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.

Akan tetapi, dorongan Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar hadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang di dalam puncak kejayaan dan dianggap sebagai bangsa pemberani di Dunia.

Pada 24 th. kemudian, tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer ke dua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer ke dua ini di pimpin oleh panglima terpenting di dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “Quilimo”.

Walaupun akhirnya perang ke dua ini yang berjalan berbulan-bulan tentara Kalinyamat terhitung tidak sukses mengusir Portugis dari Malaka, tetapi udah memicu Portugis kuatir dan jera berhadapan bersama dengan Raja Jepara ini, terbukti bersama dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.

Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai saat ini tetap terdapat di Malaka komplek kuburan yang disebut sebagai Makam Tentara Jawa. Jepara merupakan tempat yang dikenal kerajinan, bahkan merupakan tempat penghasil seni ukir yang apik di Indonesia.

Diceritakan bahwa tokoh Ratu Kalinyamat amat berjasa di dalam membudayakan seni ukir yang saat ini ini jadi andalan utama ekonomi Jepara. Seni ukir Jepara adalah perpaduan seni ukir Majapahit bersama dengan seni ukir Patih Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina. Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada th. 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadiri.

Mengacu pada semua aspek positif yang udah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat supaya Jepara jadi negeri yang makmur, kuat dan mashur, maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil saat beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan bersama dengan tanggal 10 April 1549 ini udah ditandai bersama dengan Candra Sengkala “Trus Karya Tataning Bumi” atau tetap bekerja keras membangun daerah.